Kamis, 23 Agustus 2007

Catatan Pinggir

Hanya sebuah ungkapan tanpa makna…..


Alhamdulillah, akhirnya bangsa ini ketemu lagi sama agustusan, dimana-mana ada nuansa kemeriahan, gapura ditiap-tiap gang di hiasi warna merah dan putih. Mendadak semuanya terlihat begitu syukur terhadap jerih payah para pejuang. Di seling acara-acara televisi masih terdengar suara khidmat Bung Karno membacakan naskah Proklamasi, Indonesia Raya (bukan versi Roy Suryo-pen.) juga lagu Hari Merdeka serentak sering terdengar dimana-mana. Rendezvous.....


Panjat pinang, aneka lomba dan panggung pementasan ada dan berdiri di tiap-tiap tempat, tidak hanya di kota-kota besar, di kampung paling pelosok pun ada. Inilah Indonesia, yang sejak 17 Agustus enampuluh dua tahun silam berani menyatakan kemerdekaannya, tepat di hari Jum’at tahun 1945 lantang tegak berdiri sebagai sosok yang bersiteguh melawan segala bentuk imperialisme.
Layak disyukuri bahkan teramat wajib bagi kita semua untuk berucap syukur karena kemerdekaan yang didapat pada masa itu ditebus dengan ceceran darah, desing mortir dan mesiu, luka, tangis dan kematian dari jiwa-jiwa agung yang lebih merindukan keabadian (Semoga Allah memberikan tempat yang sangat mulia di hari akhir nanti... amin).

Tapi saat ini yang dibutuhkan bukan hanya kemeriahan kosong saja, melainkan sebuah perenungan kembali atas amanah kemerdekaan yang kini menjadi tanggung jawab kita. Setidaknya kita harus mulai berani mempertanyakan eksistensi keberadaan kita sebagai sosok anak bangsa yang harus menopang Ibu Pertiwi yang kita cintai ini agar tetap tegar berdiri meski zaman dan kegilaan imperial yang kini menjelma dengan wajah yang semakin halus dan menakjubkan sudah menanti. Cintakah kita pada tanah air ini...? Pedulikah kita terhadap Tanah Lahir kita...? Sayangkah kita terhadap udara kemerdekaan yang kita hirup saat ini...?. Bila cinta, bila peduli, bila sayang apa wujudnya...?. Dosakah anak yang mendurhakai orang tuanya...? Dosakah bangsa yang tidak lagi cinta terhadap tanah airnya...?


Sedalam apa cinta kita...?, pastinya tidak sedalam lautan bukan...?, kita seperti turis yang berdiri di tepi pantai menghirup udara segar sambil menatap jauh ke birunya samudra tapi hati kita begitu kecut untuk terjun menikmati kedalamannya. Ya, cinta sebatas decak kagum yang macet di bibir atau bahkan tercekat dipangkal lidah.


Komitmen dan loyalitas sepertinya masih berbentuk benih yang di pendam didalam hati namun kita takut menyiraminya dengan keseriusan karena memang kita hanya menginginkan cinta itu sebatas benih tanpa memberikan kesempatan baginya untuk tumbuh mengakar dan lalu berbunga kasih dan sayang yang tulus serta keberanian untuk menebas halang, rintang, onak juga duri yang menghalangi jalan Ibu Pertiwi menuju masa depannya.


Perjalanan waktu telah memperlebar jarak kita dengan masa lalu dimana aksi-aksi patriotisme yang heroik ditemui dijalan-jalan. Enampuluh dua tahun bukanlah jarak yang teramat dekat bagi alam pikir untuk ditempuh guna menakar kembali kadar semangat juang para pahlawan. Sejarah yang telah kian lapuk dan usang mulai ditinggalkan seperti layaknya buku-buku tua yang teronggok di pojok-pojok ruang baca universitas-universitas.


Pernahkah kita rindukan kembali masa kecil kita saat duduk dibangku sekolah dasar...? diterik senin pagi, di lapangan atau dihalaman sekolah, begitu khidmat menghadap Sang Saka, memberikan penghormatan yang begitu jujur dan dalam saat ia mulai dinaikan menuju tiang teratas manyambut angin yang akan membuatnya berkibar begitu gagah. Tim obade menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan aku yakin di hati kita semua, pada saat itu, meski diruang yang paling dalam, kita ikut bernyanyi dan merasakan khidmatnya upacara penghormatan, padahal dimasa itu kita tak kenal kata Nasionalism, Patriotik ataupun Herois karena memang pada masa itu kata-kata tersebut tidak lah menjadi kata yang teramat perlu untuk diucap. Ya, cukup dengan pengakuan jujur di dasar hati bahwa kita bangga berpanas ria hanya demi untuk melihat kibar sang Merah Putih. Lalu bagaimana di masa kita sekarang....? apakah kita masih merasakan kebanggaan itu...? bukankah sejarah masa lalu kita membuktikan bahwa dimasa kecil kita, kecintaan terhadap tanah air begitu jujur dan tulus...?


Ya Allah, apa yang terjadi dalam diri kami ini...? apa yang akan terjadi nanti pada Tanah Air kami ini bila generasi kami yang akan datang nanti akan digerus cintanya terhadap Nusa Raya oleh arus modernisasi yang sebenarnya lebih pantas aku sebut dengan peracunan barat atas budaya lokal...?, aku belum berani membayangkan saat datang sebuah masa dimana akar budaya, pondasi sejarah atau semangat kepedulian pudar atau bahkan hilang begitu saja. Bangsa yang akan menjadi gamang karena tidak lagi memiliki identitas jatidiri.


Saat ini saja masalah yang dihadapi negeri ini sudahlah teramat pelik, ruwet dan sangat kompleks. Penjajah hadir ditengah-tengah kita, dalam berbagai wujud dan menyusup disetiap aspek kehidupan ini, bahkan di lini yang sangat fundamental. Seperti kanker atau tumor ganas yang merambat secara perlahan yang dengan kepandaiannya membius syaraf kita semua agar sakit tidak bisa dirasa, dilain tempat seperti kusta yang muncul dari sendi jari-jari untuk terus menggerogoti bagian-bagian tubuh kita tanpa harus menyerang jantung ataupun hati. Sementara itu di luar sana, para ahli-ahli penyakit menjadikan si pesakitan sebagai uji coba teori-teori baru mereka, bisa dan racun dalam wujud racikan obat atau serum terus menerus disuntikkan melalui selang-selang infus kedalam aliran darah dari tubuh yang telah pasrah menerima kenyataan bahwa ia sakit dan kini menjadi kelinci percobaan.


Korupsi, kejahatan yang teramat sangat biadab hidup subur di Negeri ini, dimana-mana, mulai dari lapisan elite hingga yang paling bawah. Korupsi adalah madzhab baru di Indonesia, dan penulis yakin akan butuh waktu dan tenaga yang super ekstra untuk menghambat pertumbuhannya. Korupsi tidak hanya ada dan tumbuh dilingkungan birokrasi saja melainkan berbiak seperti virus dalam diri masing-masing kita. Nafsu dan ambisi adalah mediasi tumbuh kembangnya virus tersebut, budaya konsumtif yang disisipkan disetiap tayangan televisi-televisi, gaya hidup borjuasi kaum kapitalis mulai menjadi mimpi-mimpi indah di tidur malam kita. Siapa tidak mau hidup berkecukupan, melihat kebutuhan keluarga terpenuhi, pendidikan anak-anak tidak terbengkalai, kesehatan terjamin...? semua pasti menginginkan hal itu. Seperti laba-laba yang mulai membangun sarang dengan jaring-jaringnya, beranak pinak menciptakan generasi laba-laba dan tentu jaring-jaring baru, dan hanya ada dua hal yang akan terlihat, Penjerat dan yang Terjerat.


Madzhab Korup adalah madzhab yang paling berbahaya, lebih berbahaya dari triad ataupun mafioso dimanapun. Banyak yang harus menjadi korban sia-sia dari eskalasi madzhab tersebut. Gelandangan, Pengemis, Anak-anak Jalanan, Pedagang Kaki Lima, Prostitusi, Kriminalitas, bahkan sampai mayat pun menjadi korbannya. Berapa dana pendidikan yang habis dikorup...? Berapa dana Rekonstruksi Pasca bencana, dana pendidikan dan kesehatan, yang raib entah kemana...? atau beranikah kita bertanya sudah berapa banyak keringat rakyat yang menguap dimulut pengikut madzhab korup...?. Jika saja tidak ada madzhab korup yang subur berbiak pasti akan banyak nasib dari penghuni tanah ini yang akan terangkat.


Kolusi dan Nepotisme, masih satu induk dengan Madzhab Korup merupakan sumber dari segala ketidak adilan dan berbagai macam kesenjangan yang ada. Syarat nya mudah, siapa mau menjilat dia akan dapat. Negeri ini seperti sebuah semangka yang ada dipantat singa diantara kerumunan binatang hutan yang kehausan, siapa ingin harus berani membujuk sang Singa agar mau berbagi, yang kecil harus rela antri di barisan belakang. Transparansi, keadilan yang bijaksana akan menjadi hal yang langka disaat seperti itu. Kolusi dan Nepotisme bibit munculnya konglomerasi raja tega yang akan menghalalkan semua cara demi urusan kelompok mereka. Siapa tidak mau hidup dengan kelancaran dan kemudahan...?. pada akhirnya yang cantik namun lemah akan tersingkir, yang suci dan bersih akan jauh tersisih.


“Setengah abad lalu, kekuasaan mendahului hukum. Kini keadaan lebih parah lagi: KEKUASAAN ADALAH HUKUM...!!, yang pertama telah menelan yang kemudian (Romain Rolland)”. Hukum seharusnya memiliki peran yang signifikan untuk memerankan ke-Maha Adilan Tuhan, hukum juga sejatinya merupakan representasi dari keberagaman dan perbedaan, hukum bisa dikatakan sebagai pondasi vital terwujudnya Kemerdekaan yang berdaulat, hukum bukan untuk golongan melainkan bersifat umum tanpa harus menitik beratkan kepada sesuatu apapun selain kebenaran. Bila hukum sudah diromankan dengan kekuasaan, kelompok atau golongan maka hukum itu sendiri akan menjadi detonator dari bom waktu yang akan memporakporandakan system ketata-hidupan masyarakat.


Di Negeri ini hukum masih jauh dari kokoh, hukum masih bisa dipelintir, dalil dan fakta mudah dipermainkan, asas diracuni dengan kepalsuan dan keadilan ditipu dengan keragu-raguan. Ciri utama dari masyarakat yang terjajah salah satunya adalah tidak adanya keadilan hukum karena hukum pada masa itu masih berupa aturan eksklusif yang diciptakan guna menjadi penegas siapa penjajah dan siapa yang terjajah. Banyak sekali kasus-kasus pelanggaran hukum berat yang harus membeku di peradilan kita. Mafia-mafia hutan, koruptor, penjaja kedaulatan, sama sekali tidak bisa tersentuh hukum secara adil, sedang disatu sisi, kaum-kaum marjinal (yang nota bene nya pewaris tahta sebenarnya) pelacur, Pedagang Kaki Lima, pencuri-pencuri kelas teri yang terpaksa karena kondisi dan situasi yang sampai kapanpun tidak akan berpihak dengan mereka, pelanggar lalu lintas, pendemo dll, harus berhadapan dengan hukum yang berwajah sangat bengis. Di dunia ini masih berlaku hukum sebab-akibat, tidak akan muncul asap tanpa adanya api. Bila kenyataannya seperti telah disebutkan diatas maka ancaman yang nyata ada ditubuh bangsa yang “merdeka” ini adalah KEBERPIHAKAN HUKUM. “Tuan jaksa, jawab tuan Jaksa, Undang-Undang mana bikinan siapa yang mengijinkan pejabat negara menganiaya rakyat dan menginjak-injak haknya (Ibunda, Widji Thukul)”.


Rakyat mewujudkan Kemerdekaannya, Kemerdekaan mewujudkan kedaulatan, Kedaulatan menciptakan Pemerintahan, Pemerintah menciptakan kemapanan, Kemapanan menjelmakan quo dan tiran, Tiran menjelmakan anarkhi, Anarkhi membesarkan ambisi, ambisi ditentang-rakyat ditantang dan lahirlah reformasi dialam yang katanya telah Merdeka.
“Reformasi ternyata hanya melahirkan para pahlawan kesiangan serta anggota dewan yang cengengesan (Dongeng dari negeri sembako, Acep Zamzam Noor)”.


Dua kali sejarah dalam kurun 62 tahun Indonesia merdeka membuktikan bahwa dengan kesatu-paduan tekad, apapun yang dikehendaki oleh rakyat, dengan kebersamaan yang kokoh dan kuat akan dapat dicapai. Reformasi, ibarat bayi yang dilahirkan dimasa susah, lahir prematur dan terpaksa masuk kedalam ruang inkubasi, dibutuhkan ketenangan dan kedewasaan serta kesabaran juga loyalitas dan komitmen untuk membesarkan bayi tersebut, segala sesuatunya dilakukan secara optimal dan intensif, karena bila itu tidak dilakukan, si bayi akan mengalami disfungsi metabolisme, daya tahan tubuhnya menjadi begitu rentan terhadap berbagai macam virus dan penyakit. Itulah yang terjadi di Tanah ini, Reformasi yang terlahir prematur akhirnya harus terserang berbagai macam penyakit yang menggerogoti metabolisme hingga akhirnya kini mengalami stagnasi pertumbuhan. Kaum oportunis bermunculan, jual beli idealisme, pelacuran intelektual merebak dimana-mana, egosentris golongan dan pada akhirnya reformasi yang dilakukan tanpa kesungguh-sungguhan dari setiap pemeran dan bangsa ini pada umumnya mengarahkan kemerdekaan pada kebebasan yang kebablasan, kebebasan yang pada akhirnya menjadi penjajah bagi kemerdekaan yang sebenar-benarnya. Semoga Allah memberi kita keberanian untuk mulai mencari makna dari kemerdekaan yang sesungguhnya... amin...


Kata, dimana makna…?
Makna, dimana rasa…?
Rasa, dimana suka…?
suka, dimana jiwa …?
jiwa, di rengkuh kata mendekap makna …

Tidak ada komentar: